Senin, 05 Oktober 2009

tolok ukur orang sukses

Tolok Ukur Keberhasilan Hidup PDF Cetak E-mail

Semua orang berkeinginan agar hidupnya sukses. Sebaliknya, kiranya tidak seorangpun yang mau gagal dalam menjalani hidup ini. Persoalannya, apa ukuran yang digunakan untuk menyebut bahwa seseorang telah berhasil hidupnya, sedangkan lainnya gagal. Tentu, masing-masing orang memiliki tolok ukur yang berbeda.

Saya seringkali oleh mahasiswa disebut telah sukses dalam menjalani hidup ini. Tetapi saya rasakan tolok ukur yang digunakannya itu sangat sederhana. Misalnya, saya telah lama memimpin kampus, berhasil mendapatkan gelar akademik atau lulus S3, menduduki jabatan akademik dan juga pangkat tertinggi sebagai guru besar dan pembina utama. Selain itu, saya telah berkeluarga, memiliki anak dan bahkan juga cucu. Tatkala pergi ke mana-mana tersedia kendaraan. Lebih dari itu, saya dianggap bisa mengikuti perkembangan zaman, yang hal itu dilihat dari beberapa buku yang pernah saya tulis.

Atas dasar prestasi itu oleh mahasiswa, saya dikatakan telah berhasil dalam hidup. Tetapi, apakah benar kesimpulan itu yang hanya menggunakan tolok ukur sesederhana itu. Bukankah sesungguhnya ukuran-ukuran keberhasilan hidup yang digunakan itu sangat lemah dan bukan itu yang benar. Lagi pula, orang seperti saya ini sesungguhnya belum sampai pada garis finish kehidupan. Ujian dan cobaan masih akan silih berganti. Pada saat ini saya kelihatan sukses, tetapi siapa yang menjamin bahwa tidak lama lagi akan datang cobaan yang saya tidak berhasil lulus menghadapinya. Sehingga, kalaupun itu dianggap sukses, maka hanyalah sebatas menurut pandangan orang dan bukan sukses hidup dalam pengertian yang sebenarnya.

Contoh tentang orang-orang yang dianggap sukses oleh masyarakat, tetapi ternyata akhirnya justru dianggap gagal jumlahnya tidaklah sedikit. Bertambah hari jumlah itu semakin banyak. Seseorang yang semula dipandang mulia, menduduki jabatan yang sangat terhormat, bergaji besar, setiap orang menghormati dan memuliakannya, ternyata diujung hidupnya jatuh. Ia diperkarakan atas kesalahan tatkala dulu menjabat. Orang dalam contoh ini, dianggap tidak amanah, telah menyalah-gunakan wewenang hingga merugikan negara dan rakyat. Akhirnya dipenjara selama beberapa tahun. Padahal, awalnya tidak seorangpun menyangka nasipnya akan seburuk itu.

Akhir-akhir ini kasus seperti dalam contoh tersebut sudah semakin banyak jumlahnya. Pejabat eksekutif, legislative, maupun yudikatif, dan bahkan juga di berbagai perusahaan milik negara maupun swasta, banyak yang terlibat kasus-kasus seperti itu. Sehingga, jika dahulu rumah tahanan ataupun juga penjara hanya dihuni oleh orang-orang yang berada di klas tertentu, atau telah melakukan jenis kejahatan tertentu, misalnya merampok, membunuh, dan sejenisnya, maka pada akhir-akhir ini fenomena itu berubah. Oknum pejabat di berbagai level dan jenis masuk penjara dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau lazim.

Melihat kenyataan-kenyataan itu, maka selagi umur seseorang belum sampai pada garis finish, rasanya belum tepat disimpulkan sebagbai telah sukses dalam hidup. Kehidupan semestinya dianggap sukses, manakala benar-benar telah nyampai pada garis finish. Jika diumpamakan sebagai sebuah pertandingan, seseorang dikatakan telah mendapatkan kemenangan, manakala telah diputuskan oleh dewan hakim pertandingan.Sedangkan keputusan itu sudah tidak bisa digugat lagi. Namun, kalaupun tokh perjalanan hidup seseorang ini harus dinilai, maka bolehlah jika yang dimaksudkan itu hanyalah penilaian bersifat sementara, yaitu keberhasilan di mata manusia.

Menurut hemat saya, setidak-tidak ada dua jenis tolok ukur keberhasilan hidup itu. Pertama adalah tolok ukur yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya, dan yang kedua adalah tolok ukur yang bedrsumber dari kitab suci atau ajaran agama. Kedua tolok ukur itu penekanannya tidak sama. Tolok ukur masyarakat untuk melihat keberhasilan hidup seseorang sederhana sekali, tetapi beraneka ragam sesuai dengan latar belakang alam pikiran dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Seseorang dianggap sukses hidupnya oleh masyarakat hanya dilihat dari prestasi yang tampak, misalnya jumlah kekayaan yang dikumpulkan, jabatan atau pangkat, rumah atau tempat tinggal, relasi dan sejenisnya.

Sedangkan ajaran agama melihat kesuksesan seseorang bukan dari yang tampak itu, melainkan dilihat dari hal-hal yang lebih mendalam, yaitu meliputi keimanan, amal sholeh, dan akhlakul karimah. Orang yang memiliki keimanan akan dipandang lebih unggul daripada sekedar kaya, berjabatan tinggi, tinggal di rumah besar lagi indah dan mewah, tetapi tidak beriman. Orang yang berpendidikan tinggi, bergelar panjang-panjang tidak akan memiliki makna apa-apa di mata Tuhan jika orang tersebut tidak beriman, beramal sholeh, dan tidak berakhlak.

Siapa yang paling tahu tentang kadar keimanan seseorang tidak ada lain kecuali Allah sendiri. Siapakah yang sukses dalam hidup, dan dipandang mulia, menurut ukuran ini bukan atas dasar apa yang tampak pada diri seseorang saat sekarang ini. Orang yang dianggap dekat dengan Allah, tebal imannya, beramal sholeh dan seterusnya, oleh kebanyakan orang juga belum tentu sama nanti menurut penilaian Tuhan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang pada saat di dunia ini dianggap berderajat rendah, sederhana, dan juga tidak pernah diperhitungkan, ternyata justru menjadi kekasih Allah.

Juga orang yang pada saat ini dinyatakan salah dan dihukum dalam penjara, namun yang bersangkutan menerima keputusan itu dengan sabar dan ikhlas, dan apalagi kesalahan yang dilakukan tidak disengaja karena terpaksa atau system yang menjadikan dia harus berbuat seperti itu, maka tidak mustahil dia mendapatkan ampunan dan dimasukkan ke surga-Nya. Sebaliknya, orang yang mengadilinya, karena tidak jujur dan memanipulasi bukti, sehingga tidak melahirkan rasa keadilan, bekerjanya kurang ikhlas, maka kelak di akherat justru akan mendapatkan hukuman yang berat.

Tolok ukur keberhasilan hidup di mata manusia yang dilihat pada saat ini hanyalah bersifat nisbi. Demikian pula penilaian terhadap suatu bangsa. Bangsa ini kadang dipandang terpuruk, gagal, atau rendah dibanding bangsa-bangsa lain di dunia yang maju. Harus disadari bahwa penilaian itu semua hanya dilihat dari hal sederhana, yaitu dari besarnya kekayaan yang berhasil dikumpulkan serta pengaruh yang dikembangkan. Memang harta kekayaan sangat diperlukan dalam kehidupan ini. Tetapi perlu disadari bahwa harta tidak akan menjamin berhasil mengantarkan seseorang menjadi selamat dan bahagia, baik di dunia maupun di akherat. Ajaran Islam memberi petunjuk pada umatnya, bahwa agar dalam mencari harta kekayaan harus selektif, yaitu selalu memilih yang halal, baik, dan berbarokah. Harta kekayaan yang tidak jelas kadar kehalalannya harus dihindari.

Demikian juga, jika pandangan ini dikaitkan dengan berbagai musibah, termasuk musibah terakhir yaitu gempa bumi di Sumatera Barat hingga banyak korban yang meninggal. Bisa jadi menurut pandangan orang, mereka yang meninggal terkena musibah tersebut dianggap sial, rugi, atau celaka. Padahal semestinya tidak selalu demikian. Bisa jadi dan mudah-mudahan begitu, mereka yang mati terkena musibah gempa dan meninggal, justru beruntung menjadi mati syahid, diampuni dosanya, dan dimasukkan ke sorganya. Begitu pula keluarganya yang sabar, berhasil menata hati sehingga menjadi ikhlas, sabar, dan tawakal justru mendapatkan keuntungan besar dari peristiwa yang secara kasat mata menyedihkan itu.

Bersikap dan berpikir secara lebih mendalam sebagaimana dituntunkan oleh ajaran agama seringkali ditinggalkan orang. Banyak orang semakin berpikir materialistic, sekularistik dan hedonistic, yaitu semua kehidupan hanya dilihat dari sudut pandang kebendaan. Dalam hal mencari makan dan pakaian misalnya, hanya mempertimbangkan dari aspek kandungan gizi, kelezatan, dan jenis kalori makanan itu, dengan mengabaikan kehalalan dan keberkahannya. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka sesungguhnya manusia justru telah terperosok pada kehidupan yang rendah, bagaikan jenis kehidupan selain manusia. Manusia adalah makhluk yang mulia, karena itu dalam hidupnya harus mempertahankan kemuliaannya. Tolok ukur untuk melihat keberhasilan hidup atau kemuliaan itu, semestinya tidak sebatas melihatnya dari aspek yang bersifat material, tetapi lebih sempurna dari itu, yaitu meliputi aspek keimanan, amal sholeh, dan sekaligus akhlaknya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar