Senin, 05 Oktober 2009

RESIKO BERPOLIGAMI

Sampai hari ini saya termasuk orang yang tidak berpoligami. Minat ke sana juga tidak ada. Memiliki satu isteri, saya merasa sudah cukup. Jika di sana sini ada hal yang kurang, selalu saya pahami bahwa, memang itulah sifat manusia selalu merasa kurang, tidak sempurna, mengecewakan dan seterusnya. Saya juga menganggap bahwa dengan tidak sempurna, atau serba kurang itu justru bisa dijadikan tantangan, lalu diselesaikan secara terus menerus.

Saya mengerti sedikit tentang poligami hanya dari teman yang kebetulan menjalaninya. Saya juga heran, teman saya yang dulu tidak pernah memiliki tanda-tanda akan berpoligami, ternyata isterinya sudah dua. Padahal menurut penilaian saya, teman saya tersebut rasanya tidak berpotongan, atau dulu sebatas memiliki tanda-tanda akan berani berpoligami saja tidak tampak. Tetapi anehnya setelah sekian lama tidak ketemu, ternyata saya mendapat informasi, dia sudah beristeri dua.

Pada suatu kesempatan bertemu, sengaja saya bertanya kenapa hal itu terjadi. Jawabannya sederhana, bahwa tatkala isterinya semakin tua, maka ternyata semakin kurang bisa menyesuaikan dengan keinginannya. Saya tidak menggali lebih jauh, jenis keinginan apa yang sebenarnya kurang bisa dipenuhi oleh isterinya itu. Padahal setahu saya sebelum keduanya menikah,saya tahu, sudah cukup lama saling mengenalnya.

Sekalipun saya tidak menanyakan secara detail, ia menjelaskan alasan-alasan mengapa ia terpaksa harus berpoligami. Dikatakan misalnya, semakin tua, isterinya tidak semakin matang kepribadiannya. Antara lain, kurang bisa menyesuaikan dengan lingkungan saudara-saudaranya, boros, kurang bisa melakukan peran-peran sebagai ibu, seperti menerima tamu, mendidik anak-anaknya dan seterusnya.

Alasan-alasan yang lebih pribadi, tentu tidak disampaikan. Selain itu, kelemahan-kelemahan dirinya hingga menjadikan isterinya tidak berkembang sebagaimana diuangkapkan itu juga tidak disinggung. Padahal jika dia mau sedikit merenung dan jujur, bisa jadi kelemahan itu justru bersumber dari dirinya. Tetapi, saat ketemu itu saya tidak tertarik untuk menggali lebih dalam alasan-alasan yang lebih nyata. Sebab tokh dia sudah terlanjur beristeri dua dan juga telah mendapatkan anak dari perkawinannya yang kedua itu.

Namun sebatas untuk menggoda-goda saja, saya mencoba ingin mendapatkan pengalaman bagaimana orang berpoligami. Apa resiko yang selama ini didapat dan sulit untuk dipecahkan dari memiliki isteri doubel itu. Melalui senda gurau pada pertemuan itu, saya mendapatkan pengalaman konkrit, ternyata beristeri lebih dari satu, ternyata membawa banyak resiko. Oleh karena dirasakan tidak seimbang antara kebahagian yang diperoleh dengan besarnya resiko itu, hingga dia mengatakan, umpama belum terlanjur, tidak akan mau menjalaninya.

Beberapa resiko itu, misalnya terkait dengan selalu saja harus mengatasi rasa tidak adil di antara kedua isterinya itu, cemburu dari dua belah pihak, dan bahkan juga konflik yang tidak pernah henti. Resiko itu juga menyangkut anggaran. Dengan dua isteri maka anggaran yang ditanggung juga harus doubel. Belum lagi jika kedua-duanya membutuhkan dana yang sama-sama harus segera dipenuhi, akan lebih berat lagi ditanggulangi. Selain itu dengan berpoligami, hidup di tengah-tengah masyarakat yang masih terbiasa monogami, juga beresiko mendapatkan ejekan, sindiran, dan bahkan juga cemo’ohan.

Mendengarkan cerita tentang pengalaman konkrit berpoligami dari teman yang dulu sangat dekat tersebut, saya menjadi semakin yakin bahwa mengurus dua rumah yang memiliki tuntutan, hak-hak, dan fungsi yang sama, tidaklah mudah. Di antara keduanya saling menuntut hal yang sama dan bahkan juga hak yang sama pula. Selain itu di antara keduanya juga selalu berkompetisi agar dianggap lebih penting dan juga lebih berkompeten, sehingga keduanya menuntut harus sama-sama didahulukan. Persoalan-persoalan itu selalu muncul dan tidak mudah diselesaikan. Apalagi persoalan itu tidak saja terkait dengan hal yang bersifat material, melainkan juga merambah pada wilayah yang bersifat psikologis. Persoalan terakhir, justru lebih sulit diselesaikan.

Tatkala sedang asik-asiknya mendengarkan cerita tentang resiko berpoligami itu, perhatian saya terbawa pada persoalan yang sedang terjadi di negeri ini. Yaitu terkait dengan konflik yang terjadi antara Kepolisian dan KPK yang tampaknya semakin memanas. Mengapa dua lembaga yang dianggap sama-sama strategis dalam menyelesaikan persoalan besar bangsa ini justru saling berkonflik. Bukankah dengan begitu, jika tidak segera diselesaikan akan persis dalam skala kecil, melahirkan resiko seperti teman saya yang berpoligami itu.

Umpama teman saya tersebut, tatkala merasa bahwa isterinya tidak bisa memenuhi tuntutannya, lalu kemudian segera mengajari, mengirim ke tempat kursus, atau berdialog secara lebih intensif, sehingga kemampuan isterinya meningkat, maka tidak akan menghadapi problem serius berupa kompetisi dan bahkan konflik yang berkepanjangan itu. Penyelesaian problem keluarga itu semestinya tidak melalui jalan pintas yakni nikah lagi. Tatkala penyelesaian dengan cara itu diambil maka akibatnya problem baru akan muncul, sementara problem lama tidak terselesaikan.

Kiranya mirip dengan persoalan berpoligami itu, adalah terjadinya kasus konflik antara Kepolisian dan KPK. Kedua lembaga ini memang memiliki tugas dan wewenang yang mirip. Oleh karena itu jika sering terjadi pergesekan maka rasanya menjadi wajar dan alami. Maka penyelesaiannya ke depan,sekalipun sulit, harus dicarikan strategi yang tepat agar problem-problem sebagaimana digambarankan dengan kehidupan berpoligami itu tidak terjadi.

Memang lahirnya KPK sebagai alternatif darurat, karena lembaga yang ada dianggap kurang efektif, maka kehadirannya wajar jika melahirkan beban psikologis bagi lembaga lain yang ada sebelumnya. Kiranya konflik itu tidak saja dengan pihak Kepolisian, tetapi juga dengan lembaga selainnya, semisal dengan Kejaksaan dan bahkan juga dengan Mahkamah Agung. Jika persoalan ini tidak mendapatkan penyelesaian secara tepat, adil, dan arif, maka resiko seperti itu akan terus terjadi, sebagaimana resiko bagi orang yang berpoligami. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar