Kamis, 08 Oktober 2009

DOA DAN IKHTIAR

Manusia diciptakan oleh Allah Swt. memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Di samping secara biologis memiliki struktur anggota badan yang sempurna, manusia juga dilengkapi dengan kemampuan nalar (al-‘aql), hati (al-qalb), dan nafsu (an-nafs) sekaligus di dalam dirinya. Kesempurnaan struktur dan kemampuan itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lain. Allah Swt. menyatakan dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" (QS. at-Tîn [95]: 5).
Agaknya kesempurnaan manusia itu sengaja didesain oleh Allah Swt. agar ia mampu mengemban amanah yang dipikulkan pada dirinya. Dalam hal ini, setidaknya ada dua amanah yang melekat pada diri manusia, yatiu hamba Allah (‘abd Allah) dan khalifah di muka bumi (khalîfah fi al-ardh). Manusia sebagai hamba Allah meniscayakan bahwa semua aktivitas manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial, semata-mata ditujukan untuk pengabdian kepada Allah Swt. sebagai Dzat yang telah menciptakan. Dalam hal ini, relasi yang terjadi adalah Khaliq (Tuhan) dan makhluk (manusia). Sebagai khalifah, manusia harus mampu menjamin kelangsungan hidup di muka bumi, baik antar manusia sendiri maupun manusia dengan alam, dengan penuh kedamaian dan menjunjung tinggi keadilan. Dengan demikian, yang terjadi adalah hubungan antar sesama makhluk. Pemahaman terhadap amanah pertama itu didasarkan atas firman Allah Swt. yang menyatakan:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS. adz-Dzâriyat [51]: 56).
Sedangkan amanah kekhalifahan manusia didasarkan atas fiman-Nya:
وإذ قال ربك للملآئكة إنى جاعل فى الأرض خليفة
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfiman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (QS. al-Baqarah [2]: 30).
Bagi seorang muslim, kedua amanah di atas harus dilakukan secara sinergis. Sebab, ia tidak akan sukses menjadi muslim sejati jika ia hanya mampu membangun keharmonisan sesama manusia sementara ia tidak pernah mengerjakan perintah Tuhannya. Demikian juga sebaliknya, bukanlah muslim yang baik sekiranya ia selalu beribadah kepada Allah Swt. sementara ia tidak memiliki rasa solidaritas sosial. Oleh karena itu, antara kewajiban dirinya sebagai hamba Allah dengan posisinya sebagai khalifah harus dilakukan secara beriringan. Jika kedua amanah ini mampu diimplementasikan, niscaya ia menjadi orang yang berbahagia dan pada akhirnya mendapatkan kenikmatan abadi.
Kedua amanah di atas sesungguhnya dapat diimplementasikan ke dalam ranah kehidupan manusia. Posisi manusia sebagai hamba Tuhan mencerminkan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri manusia, sebab ia ada karena diciptakan. Oleh karena itu, pengaduan dan doa yang dipersembahkan oleh manusia semuanya tercurahkan kepada Dzat yang telah menciptakan, yaitu Allah Swt. Manusia memohon bantuan hanya kepada Allah, karena Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki segala-galanya.
Sementara posisi sebagai khalifah mengharuskan manusia dapat bekerja keras dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian serta mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Setiap manusia harus memiliki semangat dan tindakan nyata untuk membenahi dan terus meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Tanpa terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, manusia dikhawatirkan gagal dalam mengemban amanah kekhalifahannya.
Oleh karena itu, doa merupakan konsekuensi posisi manusia sebagai hamba Tuhan harus dibarengi dengan kerja keras (ikhtiar) sebagai konsekuensi kekhalifahan manusia. Antara doa dan kerja keras keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat diilustrasikan sebagai dua sisi mata uang. Jika salah satunya saja yang dikerjakan, niscaya menghantarkan manusia pada jurang kehancuran dan keputusasaan. Jika seseorang telah bekerja keras lalu pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, maka itu menunjukkan ada peranan Tuhan yang menentukan. Keyakinan bahwa rizki itu ditentukan oleh Tuhan akan menimbulkan kesadaran untuk bersikap qana’ah, menerima apa adanya atas hasil usaha yang dilakukan. Tentu saja, sikap demikian menimbulkan implikasi sikap anti putus asa.
Demikian juga dengan doa yang mengharuskan adanya usaha dan kerja keras. Doa tidak akan membuahkan apa yang diharapkan tanpa dibarengi dengan ikhtiar. Allah Swt sebagai Dzat pemberi rizki dan kenikmatan, tidak melakukan pemberian secara langsung. Pemberian Tuhan itu ditransformasikan melalui aktivitas-aktivitas sosial yang bermanfaat, tidak secara instan dalam wujud nyata. Atas dasar pemahaman ini, maka harus difahami dengan baik firman Allah Swt. di bawah ini:
وقال ربكم ادعونى أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبايتى سيدخلون جهنم داخرين
"Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina" (QS. al-Mu’min [40]: 60).
Dalam pemahaman leksikal, ayat di atas memiliki kecenderungan bahwa Allah Swt. akan memberikan secara langsung terhadap apa yang didoakan manusia. Pemahaman ini tentu tidak dapat dibenarkan. Ayat ini harus dilihat bahwa dalam aktivitas sosial, termasuk kegiatan ekonomi, tidak dapat dilepaskan dari peran Tuhan.
Doa dan ikhtiar sebagai keharusan yang dilakukan oleh manusia secara sinergis dalam segala aktivitas juga dapat dipahami dari term-term yang digunakan oleh Allah Swt. dalam ayat-ayat al-Qur’an. Di antara term yang cukup kuat untuk alasan itu adalah kata îmân dan amal shâlih. Kedua kata tersebut dalam al-Qur'an seringkali dinyatakan secara bergandengan. Sebut saja misalnya QS. al-Baqarah [2]: 25 yang menyatakan:
وبشر الذين أمنوا وعملوا الصالحات أن لهم جنات تجرى من تحتها الأنهار
"Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik (amal saleh) bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya".
Makna yang terkandung dalam rangkaian iman dan amal saleh ini adalah adanya sinergi antara kepasrahan kepada Tuhan, sehingga kita harus berdoa kepada-Nya, dan aktivitas manusia, sehingga kita harus berikhtiar. Dengan melakukan doa dan kerja keras, menurut QS. al-Baqarah [2]: 25 ini dijanjikan ia akan mendapatkan kebahagaian surga dengan aneka kenikmatan yang tiada terkira.
Atas dasar uraian di atas, kesimpulan yang dapat dipetik adalah kita sebagai manusia yang memiliki keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, mau tidak mau harus terus melakukan doa dan ikhtiar secara kontinyu dalam segala hal. Demikian, mudah-mudahan bermanfaat. Bârakallâhu lî wa lakum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar