Kamis, 22 Oktober 2009

PENYESALAN SEORANG TERORIS

Aku besar di lingkungan yang tidak mengakui keberadaanku. Tatkala teman-teman bermain bola bersuka ria, aku hanya duduk menonton di pinggir lapangan. Tubuhku yang kecil serta pembawaanku yang pendiam dan pemurung membuat teman-teman tak mengindahkan kehadiranku. Padahal, tahukah mereka bahwa Ibuku tiada sempat mendidik dan memperhatikanku di rumah, karena keseharian membanting tulang bekerja menyambung hidup, semenjak Ayah yang tak kukenal siapa gerangan meninggalkan kami untuk wanita lain pada saat aku masih bayi.

Masa kecil sampai remaja kulalui tanpa ada pengakuan cukup atas keberadaanku, baik di rumah maupun di antara teman-teman.

Sampai suatu hari, seseorang bermata tajam datang menghampiriku. Lalu ia bertanya lugas kepadaku,"Maukah engkau memberi arti bagi hidupmu? Mari, ikuti jalanku!!". Saat itu aku berusia 17 tahun, dikucilkan oleh lingkunganku. Tanpa ragu, kusambut ajakan dan uluran tangannya. Kuikuti jalannya.

Ternyata ada beberapa pemuda lain di kediamannya. Beberapa kali seminggu aku diharuskan datang ke tempatnya. Ia mengharuskanku dan yang lainnya memakai baju-baju kebesaran serta memelihara atribut-atribut tertentu di tubuhku. Ia dogmatir diri kami, bahwa ajaran kami adalah yang paling benar, bahwa dunia dan segala isinya sudah dalam penyimpangan serta harus dimurnikan kembali. Rasa kebersamaan karena tidak mendapat pengakuan dari dunia luar, membuat kami terdogma bahwa kamilah yang paling benar, dan dunia selain kami memang telah tersesat. Atribut-atribut yang kami pakai dan pelihara, membuat kami merasa sebagai sepasukan kecil yang akan berjihad menyelamatkan dunia dari keangkaramurkaan. Kamilah pahlawan penyelamat bumi! Pasukan Tuhan di dunia ini!! Demi Tuhan, kami akan korbankan nyawa dengan keyakinan ganjaran surga!!!

Suatu hari, ia memanggil diriku. Ia katakan bahwa telah tiba waktunya aku berperan serta menyelamatkan dunia. "Kau bawalah peledak ini, pergilah ke suatu tempat dimana budak-budak Iblis banyak bersemayam. Tumpaslah mereka dengan pengorbanan cucuran darahmu! Semoga surga menjadi ganjaranmu!", ia bersabda sambil menatap tajam ke mataku.

Esok paginya, aku pergi membawa peledak. Mati di jalan Tuhan dan janji surga menggelorakan jiwa dan raga, walau dengan pengorbanan nyawa.. karena aku salah satu pasukan Tuhan penyelamat dunia.

Buuuuuuuumm!!! Duaaarrr!! Ahhhh!!! Sakiiitttt!! Tolongggg!!!
Suara berdentum menggelegar terdengar diikuti teriak kesakitan dan minta tolong. Aku melihat potongan tangan dan kakiku bercampur baur dengan potongan-potongan tubuh dan ceceran darah budak-budak Iblis di tempat itu, yang tercerai berai dan luluh lantak karena peledak yang kuranselkan di punggung.

Lalu semua gelap..aku akan masuk surga...

Tiba-tiba aku merasa panas dan kesakitan tiada tara di sekujur tubuhku. Kala kubuka mata, kulihat api meliputi diriku, dengan paku di sekujur tubuh, yang menyalib diri di atas kayu tegak. "Ini bukan surga!! Ini adalah neraka dalam penggambaran di ajaran yang aku terima!! Mengapaa?? Panaaass.. Sakiiitt.. Ampuun Tuhan-Ku!! Apa salahku? Aku adalah pasukan-Mu di muka bumi.. mengapa Engkau murkai aku???".

Lalu terdengar suara menggelegar,"Hai, keturunan Adam yang tersesat...mari kuperlihatkan padamu hasil perbuatan yang engkau telah akibatkan pada alam dunia!!"

Orang-orang masih berkerumun di tempat yang kuledakkan. Kulihat seorang Ibu muda bersama 2 anak kecil laki-laki dan perempuan menangisi jasad cerai berai seseorang berbaju SATPAM. Ia menjerit pilu,"Pak.. bapak.. mengapa kau tinggalkan kami? Bagaimana kami bisa melanjutkan kehidupan ini?? Siapa yang akan menafkahi kami??" Lalu kulihat masa depan mereka, di mana ibu muda tadi mati gantung diri karena derita hidup. Si anak laki-laki masuk penjara di usia 20 tahun karena melakukan perampokan dan pembunuhan. Sedangkan si anak perempuan kulihat sedang duduk termenung di sebuah komplek pelacuran, menyesali nasib mengapa ditinggal ayah tumpuan keluarga ketika kecil, sehingga ia harus menjadi pelacur untuk menyambung hidup.

Kemudian kulihat sebuah pesawat membawa pergi jasad seorang budak Iblis berambut pirang ke negara asalnya. Sesampainya di sana, seluruh sanak keluarga menangisi kepergiannya yang begitu tragis. Tak lama kemudian datang seorang pemuka agama mereka bersama anak-anak kecil. Sebelum pemakaman, pemuka agama itu membacakan obituary,"...dengan kepergian bapak, dunia kehilangan seseorang yang sangat bertanggungjawab kepada keluarga dan lingkungan.. seseorang yang amat dermawan, dengan puluhan anak yatim piatu yang dipeliharanya selama ini..". Benarkah orang berambut pirang itu adalah budak Iblis??. Lalu kulihat di masa depan puluhan anak yatim piatu tersebut harus kehilangan mimpinya menjadi seorang terpelajar. Banyak dari mereka akhirnya menjadi gembel yang mengharap belas kasihan orang lain.

Lalu kulihat ibu berhenti bekerja dan sedang sekarat karena sakit. Apa hubungannya dengaku?? Rupanya ledakan itu berdampak luas. Investor asing beramai-ramai menarik uangnya dari negaraku. Ibuku ternyata bekerja di salah satu pemasok pada tempat yang aku ledakkan, yang telah menarik investasinya dan menutup tempat itu. Pemasok tempat ibu bekerja pun tutup, karena tempat itu pasar satu-satunya, dan otomatis ibu kehilangan pekerjaannya. Kini ibu tidak punya uang dan meranggas sekarat tanpa bisa berbuat apapun.

"Apa yang kau lihat, Hai keturunan Adam?? Apa kau telah sadari hasil perbuatanmu??", Suara Itu kembali menggelegar.

Aku hanya tergugu, lalu menangis pilu.. "Bakarlah..bakarlah raga ini, wahai Suara Yang Tersembunyi. Biar ia menjadi sangit cermin nista diri"

Ternyata apa-apa yang kuanggap benar selama ini mengakibatkan hasil seperti itu. Merasa diri yang paling benar dan berbangga atas hal tersebut adalah justru suatu keangkaramurkaan. Dan keangkaramurkaanku telah menimbulkan penderitaan dan keangkaramurkaan yang tak pernah terpikirkan oleku. Sungguh aku ikhlas menjalani pemurnian di tempat yang kukenal bernama neraka.

Tak lama kemudian, aku melihat ia yang mengajakku tersalib diselimuti api di sampingku. Mata nyalangnya kini guram dan sayu..kemudian tergugu menangis pilu. Kini kami sama rata dan sama rasa di tempat pemurnian ini.

Satu yang telah kami sadari.. suatu perbuatan yang dilandasi karena merasa paling benar, hanya akan menimbulkan penderitaan dan keangkaramurkaan di muka bumi. Menyesal, kami terlambat menyadarinya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar